Dekonversi Dari Kejawen

Oleh : Wong2Ateis

BAGIAN I (Awal Mula)

Dalam setiap kehidupan, banyak sekali akan kita temui tentang kebenaran, sebuah kebenaran yang mutlak dan tidak dapat di tolak.

Ketika saya kecil, saya tentunya telah berbeda dengan teman - teman atau anak seusia saya ( 5 - 8 ) tahunan. Sejak usia itu saya tidaklah menganggap Tuhan adalah sebuah person yang wajib di hormati dan ditakuti. Sejak seusia itu memang sepertinya saya sudah menjadi seorang yang non-teis. Bagi anak seusia itu, (seperti teman-teman saya) yang selalu berdoa untuk mendapatkan apa yang mereka impikan, namun saya tidak, entah mengapa karena bagi saya itu tidaklah begitu penting. Sehingga bila bagi teman-teman dan saudara-saudara saya belajar ngaji (baca al-quran), tetapi saya tidak. Entah mengapa waktu itu saya merasa tidaklah penting mempelajarinya, namun saya tetap belajar sholat.

Ketika usia sebelas tahunan sekitar 11-15 tahunan keberadaan Tuhan sedikit mengambil hati saya, namun saya tidaklah menempatkannya pada posisi pertama di hati saya, melainkan ketertarikan akan lawan jenis saya. Namun tetap melakukan puasa, meski sholat jarang-jarang.

Setelah usia 16 tahun, Ayah saya mulai mengajari saya apa itu Tuhan, hanya saja melalui fersi beliau yakni kejawen. Sejak usia 16 - 19 tahun saya tidak makan hewan, dan hanya makan nasi dan sayuran.

Pada usia itu saya juga mulai sholat 5 waktu dan belajar al-quran, injil, dan ilmu kejawen. Bahkan saya mulai hafal ayat kursi di usia itu, selain di latih belajar wejangan wejangan/

Pada usia memasuki 20 tahun, saya mengalami suatu gejolak jetidak puasan saya terhadap fenomena masyarakat. Banyaknya ketidak adilan, kemunafikan manusia, termasuk ayah saya yang semula saya anggap sebagai guru yang mulia. Teman-teman yang sholat namun tetap melakukan maksiat, seperti free seks, mabok, judi, dugem, dan narkotika. pada usia ini jiwa saya memberontak dan saat itu juga saya makan hewan, dan tidak lagi melakukan ritual-ritual.

Pada usia 22 tahun saya masih ingat, dimana saya mengalami depresi berat. seperti kepala sering pusing, sulit tidur, mimpi buruk, tidak nafsu makan. Dan Saat itu juga saya bertemu dengan teman saya yang salah satu anggota gerakan Islam Fundamentalis yang menentang Kapitalisme dan Komunisme, serta ingin menegakkan sariat Islam di Indonesia. entah mengapa tiba-tiba saja saya sangat setuju dengan semua dogtrin yang di berikan oleh salah seorang pimpinan tersebut kepada saya. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk ikut dalam gerakan mereka, yakni menegakkan sariat Islam di Indonesia.

Pada saat itu banyak terjadi perubahan dalam diri saya, saya merasa ada jalan keluar dari semua ini, yakni dengan jihat, merubah kondisi jahiliah menjadi kondisi yang Islam. Saat itu juga saya rajin melakukan sholat 5 waktu. namun di ujung jalan saya kembali menemui banyak problematika kembali.

Yakni; 1) Intoleransi mereka terhadap agama lain, termasuk sesama Islam yang dikatakan kafir, sehingga orang tua, saudara, teman adalah kafir bagi mereka, bila tidak termasuk dalam komunitas kita.

2) Pernikahan antara sesama jemaat, dalam hal ini, mereka mengatakan adalah sebuah kewajiban, dan, bila menikah di luar jemaat adalah haram hukumnya.

Berdasarkan kedua hal tersebut ada banyak hal yang saya dapati, salah satunya adalah pembodohan terhadap umat atau jemaat, dan bila kita bertanya, tidak boleh atau dilarang, dan harus diam, karena hukum bertanya terhadap kedua hal tersebut adalah haram.

Pada akhirnya saya kembali mengalami banyak problematika keagamaan, dan pada akhirnya saya banyak membaca, dan mendapatkan sebuah kesimpulan akhir yakni bahwa ; Pada dasarnya agama itu intoleransi adanya. Dan adalah dusta bila ada yang mengatakan tidak!!

Dan selang waktu itu akhirnya saya untuk menjadi seorang yang ateis…

BAGIAN II (Pencarian)

Pembuktian adanya Tuhan

(ternyata Tuhan tidak ada)

Keraguan akan kebenaran adanya Tuhan. Keraguan saya bukan sebuah keraguan yang tanpa didasari suatu motif atau alasan tertentu. Alasan saya di karenakan saya harus-lah terlebih dahulu membuktikan segala sesuatu yang saya ragukan tersebut. Sehingga, kredibilitasnya dapat terjamin.

Ada banyak hal yang meragukan diri saya sebagai seorang ateis, diantaranya adalah; intoleransi kaum fundamentalis agama, banyaknya kejahatan yang dilakukan oleh kaum borjuis, kapitalis, pemerintah, hingga kebohongan para ulama kepada publik. Hal lain yang meragukan saya akan eksistensi ketuhanan adalah karena begitu banyak penderitaan di dunia ini yang semakin hari –bagi saya- semakin mereduksir ke-Maha-an peribadi Tuhan.

Pembuktian saya sebagai seorang ateis bukan-lah seperti yang dilontarkan oleh kaum teis terhadap kaum ateis tentang –mengenai- pembuktian tiadanya Tuhan, melainkan justru datang dari permintaan pembuktian kaum ateis terhadap teis tentang keberadaan Tuhan. Sehingga dapat dikatakan ke-ateis saya lebih kepada religiuitas seorang manusia.

Memang kelihatannya seperti seorang pengikut suatu agama tertentu atau kepercayaan tertentu di tanah jawa atau tempat lainnya, hal ini mungkin dikarenakan saya sendiri dibesarkan pada keluarga kepercayaan (sebuah aliran kepecayan terhadap Tuhan di tanah jawa). Sehingga, dalam keateisan saya tersebut terpengaruh oleh latar belakang keagamaan saya tersebut.

Sekian lama saya melakukan perjalanan panjang yang harus menghabiskan semua waktu dan tenaga saya. Sebuah perjalanan spiritualitas, sebuah perjalanan pencarian adanya Tuhan menurut setiap klam agama di Dunia. Saya masuk ke rumah-rumah Tuhan yang di bangun oleh manusia seperti hanya masjid, gereja, dan pure, namun tak satu-pun Tuhan disana. Saya coba berbicara dengan Tuhan-Tuhan mereka yang mereka bangun dari tanah, kayu, tulisan, dan batu, namun tak satu-pun dari mereka dapat berbicara. Lalu saya coba untuk berbicara dengan Tuhan yang tak kasat mata, namun yang saya temukan justru saya berbicara dengan diri saya sendiri. Kemudian, saya coba melakukan setiap ritual keagamaan kaum teis yang mereka anggap dapat mendekatkan diri mereka dengan Tuhan, namun tak satu-pun Tuhan ada di sekitar kita.

Sepanjang perjalanan saya, saya selalu berusaha untuk dapat berbuat baik dengan orang-orang disekeliling saya. Siapapun mereka tanpa memandang ras, suku, gender, apalagi agama. Namun, sepanjang saya melakukan banyak kebaikan tersebut justru saya tidak mendapati dimana keberadaan Ke-Maha Baik-an Tuhan tersebut. Hal ini didasarkan karena esensi saya-lah secara pribadi eksis.

Kemudian, saat saya sedang dilanda sebuah religuitas yang sangat tinggi, dimana saya telah masuk dalam salah satu aliran Islam garis keras, saya selalu melakukan semua amal saleh saya, beribadah dengan tekun, dan menjauhi semua larangan Tuhan. Namun, semakin saya menjadi religius saya malah mendapati ketidak beresan dalam iman mereka, sahabat-sahabat saya disana. Mereka berubah menjadi lebih fundamentalis, merasa benar sendiri, dan melihat sekitarnya seperti sebuah kesalahan, atau orang berdosa, dan binatang.

Pada saat itu saya selalu bersabar dengan berdoa semoga Allah secepat mungkin menunjukkan petunjuk-Nya kepada saya dan kepada rekan-rekan saya bahwa saya memang tidak bersalah, dan saya merasa damai atas iman saya tersebut.

Suatu saat saat saya harus tergugah melihat sebuah pengalaman nyata disekeliling kita akan penderitaan para korban tsunami, pemerkosaan, dan pembunuhan. Disini saya mencoba bertanya bukan tentang masalah ada atau tiadanya Tuhan melainkan mempertanyakan tentang maksud penciptaan dari penderitaan tersebut.

Pada akhirnya, saya merasa yakin. Apa yang selama ini saya ragukan ternyata benar adanya. Ternyata Tuhan memang tidak ada!

BAGIAN III (Akhir Perjalanan)

TUHAN

Entah sejak kapan konsep akan sesuatu yang memiliki kekuatan besar di luar diri manusia ini ada. Namun yang jelas sejarah telah membuktikan bahwa sesuatu yang manusia anggap kramat itu senyata-nyatanya kini telah kehilangan karismanya di hadapan manusia rasional di akhir jaman ini.

Tuhan, God, Allah, Dewa, atau Gusti Pengeran, tak lagi hidup didalam kehidupan manusia rasional tersebut. Namun benarkah Tuhan benar-benar telah mati? Mengingat siapapun Dia (Tuhan) tak mungkin dengan begitu saja bisa musnah dalam kehidupan manusia. Kenapa?

Well, mari kita mulai dengan sejarah awal kemunculan Tuhan! Ide awal kemunculan Tuhan ditengarai oleh sebuah simbolisme yang oleh Freud, -salah seorang tokoh psikoanalisis- sebagai Totemisme. Totemisme atau sebuah perlambang yang di berikan oleh manusia primitif yang hidup di jaman purba.

Totemisme yang merupakan perlambang perasaan bersalah manusia primitif terhadap seorang bapa atau seorang tetua suku atau klien. Seorang bapa yang dianggap sebagai pelindung namun sekalipun dibenci dan ditakuti. Dibenci karena telah menguasai semua wanita yang ada dalam komunitas tersebut, dan ditakuti karena bapa tersebut akan membunuh dan mengebiri mereka jika mengambil wanita-wanita tersebut.

Kebencian dan ketakutan ini yang pada akhirnya membuat mereka membunuh bapa mereka secara beramai-ramai untuk dapat mengambil wanita-wanita yang dikuasai oleh bapa mereka. Pembunuhan terhadap bapa yang pada akhirnya mereka sesali karena mereka tidak lagi memiliki seorang pelindung dalam kelompok mereka. Perasaan besalah ini-lah yang pada akhirnya mengantarkan mereka dalam mengkultuskan figur bapa tersebut kedalam sebuah perlambang binatang totem. Dengan melakukan sublimasi (pemindahan) terhadap binatang sebagai substitusi tersebut, perasaan bersalah dapat ditarik dari bapa dan diarahkan kepada binatang itu. Binatang yang merupakan hasil dari sublimasi tersebut pada akhirnya dikeramatkan, dengan tidak boleh dibunuh dan dimakan. Tetapi, sekali setahun binatang totem itu disembelih dan dimakan secara ritual untuk menjamin keberlangsungan kekuatan klien atau suku tersebut. Dan disinilah awal sebuah kepercayaan.

Sekian lama manusia berevolusi, Selama itu pula kepercayaan religius mereka berevolusi. Setelah animisme tersebut perkembangan religius manusia berkembang menjadi politeisme dan monoteisme. Sebuah kepercayaan terhadap banyak Tuhan atau Dewa-dewa, dan hanya satu Tuhan.

Sekian lama saya menemui kaum ateis di Indonesia ini, namun pada dasarnya mereka masih mau menyembah Tuhan -pada akhirnya nanti-, jika Tuhan tersebut pada akhirnya akan menunjukkan wujud dan eksistensinya pada manusia.

Meski dengan beberapa persyaratan yang mereka ajukan terhadapnya -konsep Tuhan- tersebut. Rasionalitas terhadap konsepsi Ketuhanan, menjadi salah satu yang diajukan oleh kaum ateis tersebut. Namun, benarkah dengan demikian berarti mereka benar-benar seorang ateis?

Namun, bila saya ingin melihat sebuah kenyataan hubungan antara Tuhan dengan Manusia, saya memiliki sebuah tanggapan bahwa manusia tidak mungkin dapat meninggalkan Tuhan dalam diri mereka. Mengapa?

Pertama, dengan menelaah teori Freud dan Durkheim, bahwa konsep awal Tuhan berasal dari totemisme di jaman nenek moyang mereka. Kedua, dengan mengutip teori Jung (salah sorang tokoh psikoanalisis), yang mengatakan bahwa, alam tak sadar manusia bukan hanya merupakan produk masa kanak-kanak, melainkan juga merupakan produk nenek moyang mereka (yang berupa ingatan laten yang diwariskan dari masa lampau leluhur mereka), yang oleh Jung disebut sebagai ketidaksadaran kolektif.

Ketidaksadaran kolektif merupakan sisa psikis perkembangan evolusi manusia, sisa yang menumpuk sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman yang berulang selama banyak generasi. Termasuk Tuhan, bagi saya jika dengan menelaah teori Jung tersebut dengan dihubungkan dengan teori Freud dan Durkheim, maka Tuhan merupakan produk dari nenek moyang manusia yang di wariskan dari generasi kegenerasi. Sehingga, manusia tidak mungkin mampu meninggalkan Tuhan mereka, yang selama ini bersemayam di alam tak sadar manusia.

Hal ini dapat dilihat dan dibuktikan dengan dua kajian saya, yakni; pertama adalah dengan kembali mengutip kembali teori Freud, yakni bahwa Tuhan merupakan sebuah infantilisme manusia dimasa kanak-kanaknya. Dimana, ketika manusia mulai beranjak dewasa figur ayah sebagai seorang pelindung, tersublimasikan kepada Tuhan. Jadi Tuhan merupakan figur ayah manusia dewasa.

Yang kedua adalah, dengan mengutip pernyataan Dr. Rahmachandran, bahwa Tuhan ada dalam otak manusia, yakni tepatnya pada otak sebelah kanan atau pada medulla spinalis.

Dengan berdasarkan kedua pernyataan tokoh diatas maka peneliti mengatakan bahwa, manusia tidaklah mungkin dapat terlepas dari warisan leluhur mereka yang telah tersimpan dalam alam tak sadar mereka dan telah terbentuk dalam otak kanan mereka.

Sebuah warisan leluhur yang senyatanyatanya bukan saja ras, warna kulit, bahasa, kebiasaan, sifat-sifat, melainkan juga kepercayaan terhadap Yang Maha tersebut. Oleh karena itu-lah kita sering kali menemui bahwa sannya para ahli science mengatakan percaya terhadap Tuhan namun dalam bahasa mereka yang berbeda, yakni dengan sebutan Sesuatu Yang Agung atau Sang Kreasionis.

Lalu, bagaimana jalan keluar dari semua ini?

Sudah jelas, bahwa Tuhan merupakan sebuah warisan leluhur manusia, yang sebenarnya merupakan ketakutan manusia dalam menghadapi kehidupan, sehingga diperlukannya sebuah figur yang mampu melindungi mereka, yakni Tuhan. Dan jika memang benar begitu adanya haruskah kita tetap memelihara warisan leluhur kita tersebut? Haruskah sebagai seorang ateis kita tetap menyisakan ruang bagi Tuhan yang senyata-nyatanya merupakan produk warisan leluhur kita?

Sebagai seorang ateis saya akan mengatakan tidak! Tidak ada ruang sedikitpun bagi Tuhan baik dalam alam tak sadar maupun dalam otak kiri saya. Kecuali jika, kita -kaum ateis- masih mau tertipu oleh warisan leluhur kita tersebut!
Sumber : http://wong2ateis.wordpress.com/2008/08/05/persaksian-saya-ateis/

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 License