Agama

Agama adalah
Keyakinan adanya kekuatan tunggal atau jamak yang dipandang sebagai pencipta atau pengatur alam semesta.

Dengan demikian ateisme bukanlah merupakan sebuah agama karena bertentangan dengan definisi tersebut.
Ateisme adalah ketiadaan teisme, ketiadaan agama. Jadi, bila kita menganggap ateisme adalah semacam agama atau sesuatu yang terorganisir, akan mengakibatkan berbagai macam kesalah pengertian mengenai ateisme.

Bagi seorang yang beragama, melakukan ritual itu penting, hidup sesuai dengan prinsip tertentu, seperti berkumpul sesama orang yang beragama sama dan mendengarkan khutbah.
Setiap orang memerlukan pandangan filosofis mengenai dunia ini. Anda tidak dapat bertindak tanpa membuat kesimpulan mengenai sifat dunia ini, sifat pengetahuan dan gagasan, sifat manusia, sifat masyarakat, dan prinsip yang dibutuhkan untuk mengendalikan tindakan. Agama telah, sayangnya, memasok jawaban atas pertanyaan ini selama ribuan tahun, berdasarkan pada fiksi, keyakinan buta, teks dogmatis masa lalu (dan seringkali konyol), dan orde intimidasi dari figur otoritas seperti pendeta, imam, paus, dsb.
Ada agama yang tidak membutuhkan keyakinan adanya pencipta dan pengatur alam semesta, yaitu jainisme dan buddhisme. Alasan kenapa kedua pandangan ini dipandang sebagai agama adalah karena pada perkembangannya, mereka mendirikan figur pencipta (Buddha) atau figur pengatur (Jain) alam semesta.

Ciri-ciri Agama

Berikut adalah ciri-ciri dari agama, setiap agama memiliki jumlah yang berbeda dari point-point berikut. Ateisme tidak memiliki satupun point ini.
1. Keyakinan adanya satu atau banyak tuhan
2. Doa
3. Rumah ibadah
4. Kitab suci
5. Pemimpin agama
6. Keyakinan adanya supernatural (malaikat/setan dsb)
7. Mukjizat
8. Perang suci
9. Neraka/surga
10. Batasan gaya hidup (model pakaian, pernikahan, dsb)
11. Keyakinan tanpa bukti (Iman)
12. Keyakinan walau bukti mengatakan sebaliknya
13. Asal usul supernatural alam semesta dan/atau manusia
14. Ekstrimis fundamentalis pembunuh
15. Pendakwah yang mengganggu di media
16. Roh
17. Upacara atau kegiatan menyembah
18. Dosa
19. Pengkafiran
20. Kami adalah orang pilihan tuhan

Apa yang salah dengan agama?

Berikut adalah daftar masalah dan ancaman yang dihadapi oleh dunia saat ini. Agama merupakan salah satu faktor penting penyebab masalah ini.
1. Perang agama global
Ketegangan yang terus bertambah antara yahudi, kristen dan islam, tiga agama terbesar di dunia, mendorong ekstrimisme, menghasilkan fundamentalisme yang menyulut konflik yang mengancam planet ini memasuki perang global. Kristen fundamental tidak menginginkan kedamaian di timur tengah karena mereka percaya kalau perang di israel dan kehancuran temple mount akan membawa pada ‘kedatangan kedua’ dari tuhan yunior mereka, yesus. Muslim fundamentalis ingin membunuh orang kafir, yaitu mereka yang bukan muslim.
2. Keruntuhan lingkungan
Faktor terbesar dalam kehancuran lingkungan saat ini adalah ledakan penduduk.
3. Pengendalian populasi
Hal logis untuk mencegah keruntuhan lingkungan adalah mengurangi tingkat kelahiran lewat keluarga berencana. Walau demikian, kristen katolik, agama terbesar di planet bumi ini menentang pengendalian kelahiran dan keluarga berencana. Kristen fundamentalis juga anti pengendalian kelahiran. Islam juga mendukung poligami dan banyaknya anak atas alasan untuk memperbanyak jumlah orang beriman agar di hari pembalasan, nabi muhammad dapat membanggakan jumlah umatnya yang banyak.
4. Kiamat, polusi dan pemanasan global
AS merupakan negara paling besar dalam menyumbangkan polusi dan pemanasan global. AS juga dipenuhi dengan kristen fundamentalis yang menolak adanya usaha mencegah pemanasan global atas alasan mereka tidak mempercayai sains, karena sains mengancam keyakinan mereka dan mereka ingin mempercepat kedatangan kristus, sebagaimana diramalkan dalam injil.
5. Fundamentalisme
Ekstrimisme agama atau fundamentalisme semakin global. Mulai dari yahudi yang memicu islam, lalu islam yang membuat kristen bereaksi. Lalu bahkan Hindu mulai ikut-ikutan. Semuanya mengancam masa depan umat manusia.
6. Dunia semakin bodoh
Alasan mengapa IQ rata-rata manusia semakin menurun karena orang yang cerdas cenderung sedikit memiliki keturunan (kesibukan dunia modern), sementara orang yang miskin dan religius semakin memperbanyak keturunan. Saat IQ umat manusia menurun, pengaruh agama menguat.

Daftar agama utama dunia

1. Baha'i

2. Buddhism

a. Mahayana

b. Theravada

3. Candomblé

4. Kristen

a. Baptist

b. Katolik

c. Christadelphia

d. Gereja Inggris

e. Gereja Skotlandia

f. Orthodoks timur

g. Brethern Eksklusif

h. Saksi Jehovah

i. Methodist

j. Mormon

k. Pantecostal

l. Quaker

m. Adventis hari ketujuh

5. Hindu

6. Islam

a. Sunni

b. Syiah

7. Jain

8. Paganisme

9. Wicca

10. Rastafari

11. Shinto

12. Sikh

13. Tao

14. Unitarian

15. Zoroastrian

Agama dan Tuhan sebagai alat pengarahan Perkembangan Masyarakat.

Oleh Eastern_Master@…

Diskusi tentang peran agama pada peri-laku manusia adalah aktipitas intelektual yang tidak akan banyak memberi sumbangan pada pengertian kita tentang cara memperbaiki kehidupan masyarakat. Jauh lebih berguna adalah menempatkan agama dalam kerangka perbedaan
antara norma dan nilai, sehingga terlihat bahwa agama hanya merupakan fungsi pengelompokan nilai-nilai yang kurang lebih konsisten, sehingga terbentuk sistim nilai atau ideologi. Apabila dilihat
secara demikian maka agama bukanlah ciptaan tuhan tapi hasil dari proses internalisasi kollektip dalam evolusi masyarakat. Dari sudut pandang inipun tuhan hanyalah sekedar konsep legitimasi ciptaan masyarakat yang dipandang sebagai instansi terakhir yang memandatkan suatu nilai atau prinsip.

1. Pengertian perbedaan "norma" dan "nilai".
Perbedaan pokok antara norma dan nilai adalah bahwa norma dapat
dilihat, dapat diikuti sebab merupakan peri-laku yang nyata dalam
lingkungan "umum". Karena norma adalah peri laku dalam lingkungan
umum yang dapat diregistrasi maka masyarakat umum dapat melihat
dan melakukan "kontrol sosial" pada pelaku, melalui penghadiahan atau
penghukuman.

Nilai dilain pihak merupakan patokan-patokan dan prinsip-prinsip
berfikir yang berada dalam lingkungan "pribadi", dengan demikian nilai
hanya dapat dipantau oleh "kesadaran" dari pribadi itu sendiri. Nilai
tidak dapat dipantau secara nyata oleh masyarakat tapi masyarakat
mengasumsikan bahwa norma perorangan didorong oleh nilai yang
mendasarinya. Sehingga secara tidak langsung nilai yang dimiliki
seseorang dapat ditelusuri dari norma kelakuannya.

Dalam membuka penalaran seperti ini kita harus secara tuntas
memisahkan antara lingkungan "umum" dan lingkungan "pribadi".
Lingkungan umum adalah jurisdiksi masyarakat banyak yang dapat
ditelusuri langsung seperti mengucapkan "selamat pagi" apabila
berpapasan dengan sesama mahluk. Lingkungan "pribadi" adalah
jurisdiksi perseorangan yang hanya dapat diketahui oleh kesadaran diri
sendiri, seperti timbulnya rasa malu pada saat berbuat kesalahan atau
timbulnya perasaan berdosa pada saat melanggar prinsip. Kedua obyek
mental ini, yakni rasa malu dan rasa berdosa, hanya dapat dikenali oleh
kesadaran diri sendiri. Kadang kala ia menampak melalui raut muka,
tapi bagi seorang penguasa mimik mudah untuk menutupinya dan
masyarakat hanya dapat menerka.

2. Agama sebagai jembatan antara lingkungan umum dan pribadi.
Agama berfungsi untuk mengorganisir kedua lingkungan ini melalui
mobilisasi norma, yakni "kontrol sosial akan pelaksanaan syariat
agama" dan mobilisasi nilai yakni "internalisasi nilai2 ajaran agama
kejati-diri". Dengan demikian agama menguasai sisi input nilai di setiap
pribadi dan menkontrol kelakuan pada sisi out-put. Fungsi agama tidak
lain adalah sebagai wahana organisasi dan mobilisasi dari simbol2
solidaritas dan komunitas dari masyarakat. Sehingga tercapai suatu
sistim tertutup yang mereprodusir dan mengkonserpir nilai2 masyarakat
tersebut, jadi sebagai alat penyatu dan pemisah yang mampu
menimbulkan identitas tersendiri yang mengabsahkan dan menjelaskan
keberadaan diri. Baik secara kolektip maupun bagi perorangan.

3. Masyarakat sebagai pencipta agama.
Jelaslah bahwa agama yang kita diskusikan disini bukan ciptaan tuhan,
tapi kebutuhan intrinsik dari masyarakat untuk melembagakan nilai
merupakan sumber terciptanya agama. Agama diprodusir oleh
masyrakat untuk dapat menempatkan setiap individu pada
kedudukannya dalam kerngka pembagian kerja dan status sosial yang
hadir. Sehingga perbedaan jenis kerja dan status tidak merugikan atau
mengingkari solidaritas bersama. Dalam kerangka inilah Marx
mengatakan "agama adalah candu bagi rakyat" yakni sebagai wahana
ide yang menjadi pendamai kontradiksi pemilik dan pekerja. Kita akui
bahwa postulasi Marx tersebut sedikit cupat, oleh karena satu,
mengingkari kebutuhan manusia untuk dapat mencernakan penderitaan
keberadaannya sebelum tercapai pembebasan dari penindasan sistem
masyarakat yang timpang, dan dua, mengingkari kebutuhan psychologis
bagi kesadaran inidividu untuk dapat mencernakan registrasi
penderitaan oleh akal dan panca-indera agar tetap dapat berfungsi
sebagai individu. Namun demikian sari pendapat Marx tepat sebab
fungsi agama memang adalah membentuk rasa persatuan terlepas dari
status dalam masyarakat dan jenis kerja dalam proses produksi.

4. Manusia sebagai pencipta Tuhan.
Apabila agama diciptakan oleh kebutuhan masyarakat maka tuhan
diciptakan oleh kebutuhan masyarakat untuk menempatkan sumber
terakhir suatu nilai. Dengan demikian tercapai batasan kerangka diskusi
pembentukan nilai yang dapat berjalan berabad-abad mengikuti evolusi
masyarakat. Disamping itu manusia pribadi mencerminkan segala
ketidakmampuannya kepada kemampuan tuhan, sehingga manusia
dalam masyarakat mempunyai tipe ideal dari sifat kesempurnaan. Tipe
ideal kesempurnaan ini digunakan sebagai sandaran ke "aku"annya.
Pada Tuhannya manusia berkaca, membandingkan keterbatasannya
terhadap keluasan penciptanya.

Namun dalam pengacannya itu manusia mengatasi rasa akunya untuk
menjumpai kenyataan bahwa jatidirinya bukan suatu kenyataan yang
langgeng. Ternyata hanya zat penciptanyalah yang merupakan satu-
satunya kenyataan yang langgeng. Kebutuhan manusia untuk memiliki
tuhan tidak lain adalah kebutuhan untuk menerangkan keberadaan
dirinya dengan melegitimasikan rasa akunya untuk dapat menjembatani
keberadaannya dari kehidupan yang berakhir dengan kematian dengan
kehidupan yang langeng. Sekaligus dalam mengakui kebesaran dan
kekuasaan tuhan manusia menempatkan dirinya dibumi sebagai wali di
dunia, yakni hamba tuhan yang menguasai sumber2 alam dan marga
satwa.

5. Agama sebagai alat Politik.
Sebagai sistim nilai, agama selalu merupakan wahana politk. Terutama
dalam keadaan masyarakat yang tertutup dimana gerak evolusi
masyarakat hanya terjadi oleh dinamika intern. Dalam masyarakat
demikian politik dan agama adalah satu, sebab segenap keputusan dan
perkembangan keputusan berlandaskan nilai-nilai dasar yang hadir
dalam masyarakat, yang pada gilirannya mendapatkan wadah dalam
kerangka agama formal. Dapat disimpulkan bahwa bila masyarakat
berkembang secara evolusioner tanpa difrensiasi yang mendadak dalam
fungsi2 proses produksi dan lembaga politik, maka agama dan negara
adalah satu. Inilah hal yang dapat kita simak dalam sejarah dari
perbagai masyarkat kuno.

Lain halnya apabila yang agama telah mengukuh melembagakan nilai2
yang hadir dalam suatu saat tertentu, tiba-tiba dihadapi dengan
perubahan mendadak dan diffrensiasi berkepanjangan dalam proses
produksi dan pembentukan keputusan serta pembentukan lembaga-
lembaganya. Atau terlebih lagi akibat intrusi dari faktor-faktor exogin,
semisalnya introduksi tehnologi, pengetahauan ataupun modal dari luar
masyarakat itu sendiri, semisalnya melalui kolonisasi atau interaksi
dengan pasaran dunia. Dalam keadaan demikian timbul diskrepansi
antara norma baru (misalnya laki dan wanita duduk bersama ditempat
kerja) dengan nilai lama (misalnya lelaki dan wanita tidak boleh
bersentuhan terkecuali kalau muhrim).

Apabila perubahan masyarakat terjadi menurut proses yang evolusioner
maka nilai2 agama dapat menyesuaikan diri dengan difrensiasi
fungsional baru melalui penyerapan bertahap, tetapi dalam
perkembangan mendadak atau situasi revolusioner dengan sendirinya
akan tercipta dikhotomi antara sistim nilai baru dengan sistim nilai lama.
Terlebih lagi, kontradiksi anatara kedua pola nilai akan meruncing dan
tidak dapat dirujukkan apabila fungsi2 baru tersebut membawa
pergeseran besar dalam kelompok-kelompok sosial dan ekonomi.

Dalam masyarakat dimana nilai rasional sek belum sepenuhnya
membentuk psikhologi pribadi dan dimana nilai2 primordial masih
mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan kepribadian, maka
dalam situasi ketidak-berdayaan atau keterasingan (alienasi) dan
dimana opsi-opsi berdasarkan sistematika rasional terbukti tidak
berhasil maka seorang pribadi akan cenderung surut kepada sistematika
yang primordial dan irasional. Dalam skala masyarakat gejala ini dapat
dilihat pada gerakan-gerakan mistik dan fundamentalis agama, dimana
titik berat gerakan kepercayaannya adalah pengembalian bangun atas
lembaga kekuasaan dan bangun bawah hubungan perekonomian
kedalam bentuk yang lama, yang lebih jelas dan dimengerti melalui
nilai2 yang telah diinternalisir sebelumnya.

Disini agama adalah alat politik dalam usaha manusia untuk menguasai
dan mengarahkan gerak perubahan masyarakat yang telah berkembang
lebih jauh dari sistim nilai yang telah diinternalisasi. Oleh karena itu kita
tidak perlu bimbang dalam menghadapi gerakan-gerakan keagamaan,
dasar intinya bukanlah kepercayaan yang mereka anut tetapi kontradiksi
sosial yang tidak terpecahkan dalam konteks lembaga kekuasaan dan
proses politik yang hadir. Setiap siswa ilmu politik pun tahu bahwa
kekerasan merupakan perpanjangan dari bentrokan politik yang tak
terpecahkan, dengan demikian setiap langkah supresi terhadap gerakan-
gerakan seperti ini dengan sendirinya tidak ditujukan pada agama tetapi
langsung pada pelaku kekerasan. Disini kita kembali pada permulaan
penalaran bahwa sanksi masyarakat ditentukan pengamatan norma,
yakni perilaku pribadi dalam "lingkungan umum" yang dapat diregistrasi.
Sudut norma inilah yang di "hukum" atau di "hadiah", sedang spesifik
agama itu sendiri berada dalam "lingkungan pribadi".

6. Kesimpulan
Era globalisasi pasca Perang Dingin telah menempatkan banyak
kelompok-kelompok ekonomi lemah dalam kekecewaan terhadap
kemampuan solusi "akal sehat" bagi keberadaannya. Kecenderungan ini
semakin menguat terutama setelah revolusi "primordial" di Iran dan
pengusiran agressi Soviet Uni di Afganistan. Maka bagi banyak
kelompok ekonomi lemah wajarlah pilihan untuk surut kembali pada
agama sebagai sistim nilai yang dapat dimobilisir untuk menggerakan
rasa solidaritas dan mengungkapkan aspirasi politik. Saat ini dimana
konsep "modern" , yang mewakili kepentingan budaya golongan
menengah dan kalangan modal kuat, dihadapkan pada
konsep "primordial", yang mewakili kepentingan budaya kelompok-
kelompok tersisihkan, tidak mungkin tidak kita akan melihat agama atau
mistik sebagai landasan gerakan perlawanan dan teror.

Kecenderungan ini hanya akan bisa diatasi apabila konsep modern
dapat secara nyata memberikan kesempatan ekonomis dan pemenuhan
aspirasi sosial bagi kelompok-kelompok tersisihkan dan daerah-daerah
terkebelakang. Salah satu "norma" dalam struktur modern adalah
monopoli kekerasan oleh negara dan tahap berikutnya sublimasi
kekerasan dengan metode yang lebih halus. Apabila konsep yang
modern atau pasca modern ingin kita ajukan sebagai landasan bersama
kemasyarakatan dihari depan, maka perlu kita mencampakkan diri dari
norma "kekerasan" yang merupakan warisan terdalam dari zaman
primordial. Dalam menghadapi kekerasan hanya pengembangan
kehalusan budi pekerti secara sadar dan sengaja yang dapat
mengimbanginya. Jadi disamping program pemerataan pendapatan dan
kesempatan, kita harus secara sadar membentuk nilai-nilai moralitas
baru yang tenggang rasa, non-egois, terbuka dan sayang pada
kehidupan sesama mahluk hidup dan bumi. Sekali ini biarlah suatu
ideologi agnostik menjembatani antara norma dan nilai.

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-ShareAlike 3.0 License